Materi Pemberontakan PRRI atau Permesta


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Selama ini kita mengenal PRRI (pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) sebagai suatu pemberontakan yang merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesian (NKRI). Selama ini kita diajarkan untuk menganggap apapun kekuatan yang mengganggu gugat kekuasaan negra dianggap sebagai suatu pemberontakan yang mutlak dianggap salah.Kita tidak pernah melihat ada apa dibalik pemberontakan tersebut dan apa yang menyebabkannya muncul. Selama ini kita hanya disuguhi suatu doktrin yang menganggap semua gerakan yang memprotes dan tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dianggap sebagai suatu gerakan makar.
Ini juga terjadi pada gerakan PRRI. Selama ini kita tidak tahu atau tepatnya kurang peduli ada apa dibalik munculnya gerakan ini dan mengapa kita mengenalnya hanya sebagai pemberontakan yang membahayakan kedaulatan NKRI. Adakah suatu permainan dibalik ini, apakah PRRI benar-benar sebagai suatu gerakan pemberontakan ataukah PRRI merupakan suatu perjuangan bangsa untuk menegakkan demokrasi. Semua itu masih menjadi bahan perdebatan dari kalangan-kalangan yang memiliki suatu pandangan yang berbeda.

B.       Tujuan Pembahasan Masalah
Selama ini kita hanya menganggap bahwa suatu gerakan pemberontakan adalah suatu gerakan yang harus dihancurkan demi keutuhan NKRI lain itu kita kurang peduli. Harusnya kita lebih bijak dalam melihat suatu pemberontakan, agar kita dapat mengambil hikmah dari pemberontakan tersebut. Untuk itu kita harus melihat suatu pemberontakan dari berbagai sudut pandang. Kita harus tahu apa latar belakang pemberontakan ini sehingga kita dapat menentukan apakah ini benar-benar suatu pemberontakan ataukah hanya sebuah reaksi dari bangsa Indonesia dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga kita tidak akan gegabah dalam menentukan sikap kita pada gerakan ini dan tidak salah bertindak. Maka jatuhnya korban tak bersalah dapat dihindari sehingga tidak muncul trauma dalam diri penerus bangsa Indonesia yang mungkin saja dapat memunculkan pemberontakan baru. Dengan demikian kita dapat menjaga persatuan seluruh banhsa Indonesia.

C.       Perumusan Masalah
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang PRRI yang selama ini kita anggap mutlak sebagai suatu pemberontakan. Kita akan membahas apakah benar PRRI adalah pemberontakan. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
1.      Bagaimana PRRI muncul?
2.      Bagaimana reaksi Pemerintah Pusat pada keberadaan PRRI?
3.      Dapatkah PRRI dianggap sebagai suatu pemberontakan?
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Munculnya PRRI
Munculnya PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah suatu reaksi dari bangsa Indonesia atasa ketidak puasan pada pemerintah pusat. Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatra pada akhirnya 1956. Pada awal 1957, muncul Dewan Banteng di Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) dipimpin Letkol Ahmad Husein, Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin Kolonel M Simbolon dan Dewan Garuda di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Barlian kesemuanya tergabung dalam PRRI.

Dewan-dewan ini lahir sebagai reaksi dari situasi bangsa dan negara ketika itu. Awal pemberontakan PRRI di Sumatra Tengah terjadi menjelang pembentukan Republik Indonesia Serkat (RIS) pada tahun 1949. Penciutan Divisi Banteng pada Oktober 1949 menjadi satu brigade terdiri atas batalyon-batalyon besar di Sumatra Tengah. Akibatnya sejumlah prajurit terpaksa pulang kampung termasuk Ahmad Husein. Selain itu, pembangunan di Sumatra Tengah terasa sangat lambat dan menghadapi masalah.

Keadaan ini juga menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang masih bertugas. Selain itu juga menggugah berbagai tokoh politik dan sasta yang pernah bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan ini melahirkan gagasan mencari penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21 September 1956 di kompleks perumahan Persari milik Jamaludin Malik di Jakarta. Kemudian disusul dengan reuni di Padang 11 Oktober 1956 dan menyusul pertemuan-pertemuan yang lain. Reuni divisi Banteng ini menghasilkan keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah negara terutama perbaikan progressive di tubuh angkatan darat diantaranya adalah dengan menetapkan peabat-pejabat daerah yang jujur dan kreatif, menuntut agar diberi otonomi luas untuk daerah Sumatra tengah serta menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng Sumatra Tengah yang diciutkan menjadi kesatuan pelaksana Proklamasi sebagai satu korps dalam angkatan darat.

Pada tanggal 22 Desember 1956 Kolonel Simbolon pemimpin Dewan Gajah melalui RRI Medan mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Dia melihat pada permasalahan kesejahteraan danb perumahan prajurit yang sangat memprihatinkan. Karena keterbatasan dana dari pusat maka Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri membangun asrama dan perumahan prajurit. Dia mencari dana sendiri namun sayang cara yang digunakan adalah cara illegal. Dia menjual secara illegal hasil perkebunan di wilayah Sumatra Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan Tanjung Balai. Namun, pers ibukota memberitakan penyulundupan itu dan kasad memerintahkan pemeriksaan pada ksus ini. Kasad pun bermaksud menggantikan panglima TT I Bukit Barisan dengan kolonel Lubis. Melihat situasi yang gawat, simbolon mengadakan rapat perwira yang disebut “Ikrar 4 Desember 1956”. Pada 27 Desember 1956 subuh, simbolon menerima berita ada pasukan yang diperintahkan menangkapnya. Dengan perlindungan dari Batalyon 132 dibawah Kapten Sinta Pohan, dia bergerak ke Tapanuli bergabung dengan Resimen III Mayor J Samosir.

Di Sumatra Selatan Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah tersebut. Ini berlangsung menjelang Musyawarah Nasional September 1957 dan melahirkan Piagam Palembang sebagai dasar perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun sebenarnya dalam tubuh Dewan garuda terjadi keretakan. Dewan Garuda bersifat mendua. Ini disebabkan tokoh-tokoh militer masih berhubungan dengan kasad sehingga segala perkembangan Dewan garuda Dapat diketahui oleh pemerintah pusat di Jakarta. Tetapi dilain fihak Dewan Garuda juga memihak pada dewan Banteng. Keretakan ini juga mengakibatkan pada saat konflik bersenjata antara PRRI dengan pemerintash pusat Dewan Garuda memihak pada pemerintah Pusat.

PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI membentuk Kabinet baru, Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini berlangsung saat Persiden Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958 sebuah Dewan Perjuangan melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Persiden Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut diantaranya adalah:

1.      Supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya pada Persiden.
2.      Agar pejabat persiden Sartono membentuk kabinet baru Zaken kabinet nasional yang bebas dari pengaruh komunis dibawah Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX.
3.      Agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilihan umum yang akan dating.
4.      Agar Persiden Soekarno membetasi diri menurut konstitusi.
5.      Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.

Tuntutan-tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Reaksi dari PRRI adalah dengan mengumumkan pendirian Pemerintahan Tandingan yaitu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) lengkap dengan kabinetnya pada tanggal 15 Februari 1958. Susunan Kabinet PRRI adalah sebagai berikut:
1.      Syarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan.
2.      M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri.
3.      Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman.
4.      Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran.

B.       Reaksi Pemerintah Pusat
Tuntutan Dewan Perjuangan ini dikumandangkan saat Persiden Soekarno sedang tidak ada di tempat. Beliau sedang berada di Tokyo, Jepang. Maka Kabinet Djuanda segera mengambil keputusan. Tuntutan PRRI ini ditolak dan sehari setelah pengambilan keputusan, keputusan disiarkan melalui radio dan perintah-perintah selanjutnya dikeluarkan yakni semua tuntutan Dewan Perjuangan ditolak dan sejalan dengan itu diambil keputusan memutuskan hubungan darat dan udara dengan Sumatra. Kemudian diikuti dengan pembekuan komando militer di Sumatra (TT I Sumatra Utara dan TT II Sumatra Selatan) dan seterusnya.

Setelah Persiden Soekarno kembali dari luar negri pada 16 Februari 1958 Persiden Soekarno menyatakan “Kita harus menghadapi penyelewengan tanggal 5 Februari 1958 di Padang dengan segala kekuatan yang ada pada kita”. Diputuskan akan menggunakan kekerasan senjata untuk menghadapi Dewan Kabinet PRRI. Persiden Soekarno memerintahkan untuk menangkap tokoh-tokoh PRRI. Hubungan darat maupun udara dengan Sumatra Tengah dihentikan.

Tidak semua tokoh dalam pemerintah pusat setuju dengan keputusan ini. Salah seorang yang menentang keputusan ini adalah Mohammad Hatta. Sebagai Wakil Persiden dia muncul ke depan menentang keputusan ini. Dia mengirim utusan ke Padang untuk menemui Ahmad Husein dan meminta agar Dewan Banteng menghindari konflik bersenjata dengan pemerintah pusat namun entah mengapa utusan ini tidak pernah sampai ke Padang. Karena pengiriman utusan gagal maka Mohammad Hatta berusaha untuk mendekati Persiden Soekarno agar mengurungkan niatnya agar tidak meletus perang saudara. Namun usaha ini juga gagal. Pada tanggal 20 dan 21 Februari 1958 serangan ke Padang dimulai. Serangan dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani dengan diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus. PRRI mendapat dukungan rakyat Sumatra Tengah.

Serangan dilaksanakan. Pemerintah pusat menyerantg Padang. Padang dijatuhi bom-bom yang mengakibatkan kota ini hancur. Banyak rakyat padang yang mengungsi ke daerah Solok dengan membawa barang-barang seadanya yang dapat ibawa. Tokoh-tokoh PRRI ditangkap. PRRI mendapat dukungan Permesta. Akhirnya PRRI dapat ditumpas. Setelah PRRI berhasil ditumpas maka untuk mencegah munculnya pemberontakan serupa Suprapto diangkat menjadi Deputi Republik Indonesia Staf Angkatan Darat Untuk Wilayah Sumatra yang bermarkas di Medan. Peristiwa ini meninggalkan trauma bagi rakyat Sumatra.

C.       Antara Perjuangan dan Pemberontakan
Batas antara benar dan salah sangatlah tipis, tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Demikian juga batas antara perjuangan dan pemberontakan. Mungkin akan lebih mudah bila kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Perkara seakan-akan terlihat jelas dan mutlak. Namun masalah akan muncul saat kita melihatnya dari berbagai sudut pandang. Bisa saja pendapat satu dengan pendapat yang lain dapat berbeda. Demikian juga dalam perjuangan dan pemberontakan. Jika kita melihat hanya dari satu sudut pandang saja akan mudah menentukan suatu gerakan sebagai pemberontakan maupun perjuangan. Namun jika kita melihatnya dari berbagai sudut pandang akan sangat sulit menentukan apakah itu suatu perjuangan atau pemberontakan.

Keadaan ini juga muncul dalam kajian tentang gerakan PRRI. Dari sudut pandang pemerintah pusat jelaslah itu suatu pemberontakan namun jika kita melihatnya dari sudut pandang PRRI kita akan melihatnya sebagai suatu perjuangan.

PRRI adalah hasil akumulasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat dan juga kekecewaan anggota resimen 6 Divisi IX Banteng yang dibonsaikan oleh pemerintah pusat. PRRI menganggap terjadi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa. Keadaan ini menimbulkan kekecewaan dalam diri perwira-perwira PRRI. Namun sebenarnya kesenjangan ini dapat difahami memngingat umur RI yang masih tergolong muda untuk suatu negara pada saat itu tidaklah mungkin untuk melakukan pembangunan secara merata pada seluruh wilayah Indonesia. Selain keterbatasan waktu, keterbatasan dana juga mempengaruhi kesenjangan ini.

Karena perekonomian RI pada masa itu masih lemah maka RI terfokus terlebih dahulu pada Jawa sebagai pusat pemerintahan Indonesia. Jadi alasan ini kurang tepat digunakan PRRI untuk melegalkan gerakannya, apalagi pada masa itu masih ada daerah-daerah di Jawa yang belum tersentuh pembangunan. Selain itu pemberontakan PRRI muncul karena terjadi penciutan divisi Banteng menjadi satu brigade. Sebenarnya penciutan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah pusat menganggap jumlah prajurit pada waktu itu di Indonesia terlampau banyak sehingga pemerintah tidak dapat mendanainya maka diperlukan adanya perampingan jumlah prajurit.

Kurang bijak jika PRRI menggunakan alasan ini untuk melakukan gugatan pada pemerintah. Namunm kesalahan Pemerintah pusat adaklah mengapa pemerntah pusat menghapus komando dari divisi Banteng. Padahal selama ini di daerah Sumatra Barat divisi inil;ah yang terbesar dan sangat berjasa bagi perjuangan Indonesia. Seharusnya Pemerintah Pusat tetap mempertahankan komando dari Divisi Banteng ini walaupun jumlahnya diperkecil. Dengan demikian akan dapat mewngurangi konflik yang akan muncul.

Alasan lain dari munculnya PRRI ini adalah pelanggaran konstitusi oleh pemerintah pusat dan Persiden Soekarno. Alasan ini lebih relevan jika digunakan oleh PRRI untuk melegalkan gerakannya, mengingat Persiden Soekarno yang melakukan eksperimen politik untuk menemukan bentuk pemerintahan yang cocok dengan bangsa Indonesia. Namun Persiden Soekarno tidak sadar bahwa berganti-gantinya bentuk pemerintahan ini tidak sepenuhnya dapat diikuti oleh bangsa Indonesia sehingga terjadi berbagai pelanggaran pada UUD1945 sebagai dasar bangsa Indonesia Merdeka. Pelanggaran-pelanggaran inilah yang memunculkan ketidak puasaan daerah. Muncul keinginan daerah untuk meluruskan kembali pemerintah pusat sehuinggta muncul gerakan-gerakan. Keadaan menjadi semakin parah dengan merasuknya pengaruh komunis dalam pemerintah pusat yang terlihat dalam faham nasakom yang dicanangkan oleh Persiden Soekarno.

Keadaan inilah yang menjadikan gerakan PRRI muncul. PRRI sangat anti pada komunis. PRRI menyampaikan tuntutannya dalam Piagam perjuangan. Tuntutan-tuntutan tersebut bersifat memaksa maka pemerintah pusat menganggapnya sebagai ultimatum, namun PRRI tidak menganggap tuntutan tersebut sebagai ultimatum. Dari kalimat “Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam, maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri” terlihat bahwa tuntutan ini bersifat memaksa dan tepat jika dikatakan sebagai sebuah ultimatum, walaupun PRRI tidak mengakuinya. Daerah berani mengultimatum pemerintah pusat itu sudah merupakan pemberontakan pada kekuasaan pusat . Maka pemerintahpun bereaksi keras. Namun reaksi pemerintahpun kurang bijak. Harusnya pemerintah pusatpun harus instropeksi diri terlebih dahulu. Pemerintah pusat hanya melakukan sedikit usaha damai yang tidak ada artinya sama sekali sehingga pnumpasanpun dilaksanakan.

Disini dapat kita lihat fihak sentral yang bertikai adalah pemerintah pusat dan daerah. Ketidakpuasan daerah pada kebijakan pusat mengakibatkan kekecewaan yang mendalam dalam diri daerah. Ketika kekecewaan daerah memuncak. Daerah berani mengajukan tuntutannya pada pusat yang bersifat ultimatum. Jelaslah pemerintah pusat menganggapnya sebagai pemberontakan. Apalagi PRRI berani mendirikan pemerintah tandingan lengkap dengan susunan kabinetnya. Pembentukan pemerintah tandingan ini juga sebagai salah satu tanda suatu pemberontakan. Tidak ada dalam satu negara memiliki dua pemerintah pusat. Hanya ada satu pemerintah yang syah sedangkan sisanya ilegal. Ini merupakan suatu usaha kudeta. Jelaslah ini suatu pemberontakan pada pemerintah pusat.

Namun jika gerakan ini disebut sebagai pemberontakan tampaknya juga kurang tepat. Jika ini suatu pemberontakan maka mereka akan berusaha untuk membentuk pemerintahan baru dan menggulingkan Sang Penguasa. Namun disini PRRI tidak berusaha untuk menggulingkan Pesiden Soekarno. Tepatkah gerakan ini dianggap sebagai gerakan pemberontakan. Apalagi gerakan ini tidak hanya berasal dari golongan politik dan militer saja tetapi juga berasal dari golongan-golongan lain misalnya golongan pendidikan. Gerakan ini hanya berusaha untuk memperbaiki keadaan Indonesia, meluruskan pemerintah pusat agar sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia merdeka.

Pada masa sebelumnya di Wilayah Sumatra tengah inilah Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaannya dari tangan pemerintah Hindia Belanda yang berusaha merangkul kembali Indonesia menjadi Negara jajahannya. Di daerah inlah dibentuk Pemrintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengisi kevakuman pemerintah Pusat di Yogyakarta sehingga Republik Indonesia tetap memiliki pemerintahan sendiri walaupun para pemimpinnya sedang ditahan sehingga Indonesia tetap merdeka. Dengan perannya selama ini Padang masih merasa memiliki hak untuk melakukan koreksi pada pemerintah pusat. Dengan demikian PRRI merasa memiliki hak untuk mengkoreksi Pemerintah Pusat yang kebijakannya dianggap salah oleh PRRI. PRRI merasa apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan hukum dan bukan merupakan suatu pemberontakan.

PRRI hanya menginginkan perbaikan dalam tubuh pemerintah dan tentara yang menurutnya tidak adil dan telah terkontaminasi oleh faham-faham komunis. Dilihat dari sini kita akan melihat bahwa PRRI merupakan suatu perjuangan untuk melaksanakan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang demokratis yang memiliki pemerintahan yang adil. Hanya saja Pemerintah Pusat beranggapan lain. Pemerintah Pusat menganggap Padang tidak lagi memiliki hak untuk mengkoreksi pemerintah pusat. Jika ingin mengkoreksi ada jalur tersendiri. Rakyat bisa menyalurkannya lewat wakil-wakilnya, namun pada masa itu jalur itu memang kurang dapat berjalan dengan baik. Akibatnya pemerintah pusat menganggap gerakan ini sebagai gerakan pemberontakan. Anggapan ini diperkuat dengan indikasi adanya bantuan Amerika Serikat pada PRRI (walau saat pergolakan terjadi bantuan dihentikan). Tanpa berpikir panjang Pemerintah Pusat melakukan penumpasan.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dari sudut pandang yang berbeda akan diperoleh jawaban yang berbeda pula. Dari sudut pandang pemerintah pusat PRRI jelaslah sebagai suatu pemberontakan. Jika dilihat dari sudut pandang PRRI maka PRRI merupakan sebuah perjuangan.

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Awal tahun 1957 muncul Dewan Banteng, Dewan Gajah dan Dewan Garuda semuanya bergabung dalam PRRI. Awal pemberontakan ini mulai muncul menjelang pembentukan RIS pada tahun 1949. Ini terjadi saat Divisi banteng diciutkan. Faktor lain yang mendorong munculnya pemberontakan ini adalah kesenjangan pusat dan daerah selain itu juga adanya pengaruh PKI dalam pemerintah pusat yang menimbulkan kekecewaan daerah yang bereaksi menjadi suatu pemberontakan. PRRI tidak mengakui Dewan Djuanda. PRRI membentuk Dewan Revolusioner yang mengajukan tuntutan pada pemerintah pusat yang kemudian ditolak. PRRI membentuk Pemerintahan tandingan lengkap dengan kabinetnya. PRRI memperoleh dukungan rakyat dan permesta. Pada gerakan ini pemerintah pusat bereaksi keras. Pemerintah pusat melakukan penumpasan. Akibatnya timbul trauma dalam masyarakat Sumatra teryutama Padang.

Sebenarnya gerakan ini merupakan reaksi dari kekecewaan daerah pada pusat. Ini karena pemerintah pusat memfokuskan pembangunannya di pulau Jawa. Selain itu juga terjadi pengurangan jumlah tentara dan PKI telah merasuk dalam pemerintah pusat. Keadaan ini diperparah dengan pelanggaran konstitusi oleh pejabat-pejabat di dalam pemerintah pusat tidak terkecuali Persiden Soekarno. Dengan perannya sebelumnya sebagai daerah dimana PDRI berada maka PRRI merasa memiliki hak untuk melakukan koreksi pada pemerintah pusat walaupun sebenarnya pemerintah pusat tidak lagi beranggapasn seperti itu. Walaupun alasan dari gerakan ini benar namun jalan yang digunakan PRRI kurang tepat. PRRI menuntut pada pemerintah dengan nada paksaan sehingga tuntutannya lebih bersifat ultimatum. Ini menimbulkan kesan PRRI adalah sebuah pemberontakan. Namun begitu PRRI kurang tepat jika dikatakan sebagai pemberontakan karena PRRI tidak bertujuan untuk menggulingkan pemerintah pusat namun hanya ingin melakukan perbaikan pada diri pemerintah pusat.

B.       Saran
Dalam menyikapi gerakan ini kita harus lebih bijaksana. Usahakan jalan damai untuk menyelesaikannya. Pemerintah harus instrospeksi diri, apa yang salah dalam pemerintahannya lalu memperbaikinya. Namun PRRI juga harus memahami keadaan Negara jadi PRRI jangan terlalu menuntut pada pemerintah jika keadaan kurang memungkinkan.

TAMBAHAN
Pada waktu munculnya PRRI, selain dari reorganisasi TNI, ada beberapa hal penting lainnya, al:
o   Sikap Bung Karno (setelah konstituante gagal dalam melaksanakan tugasnya), maka untuk membentuk “kabinet” bung Karno telah mengeluarkan Surat Perintah Presiden RI kepada Ir Soekarno untuk membentuk kabinet yang baru. Maka terbentuklah “kabinet Juanda” waktu itu. Hal ini dianggap tidak konstitusional. Tetapi pada 5 Juli 1959 semua diralat oleh Bung Karno melalui “Dekrit Presiden”, sehingga otomatis Kabinet Juanda bubar, dan NKRI kembali kepada corak presidentil.
o   Otonomi Daerah seluas-luasnya yg diusulkan oleh Dewan Perjuangan, pernah direvisi ketika ditolak oleh pusat. Otonomi itu kemudian dibatasi hanya pada “surplus” penghasilan daerah, agar dikembalikan minimal 70% utk daerah ybs. Tapi inipun tidak diacuhkan oleh pusat cq PM Juanda.
o   . Mengenai penciutan Divisi Banteng, dimulai dengan konsep reorganisasi yg diajukan Nasution sbg KSAD utk menertibkan pemberian pangkat perwira kepada para pejuang kemerdekaan sebelumnya (para pemberani wakt itu dg mudah diberi pangkat perwira, walaupun buta huruf sekalipun). Dalam konsep itu dinyatakan bahwa utk Divisi Banteng Angkatan Darat “hanya akan mengakui pangkat perwira dari tamatan Sekolah Opsir (kadet) yg pernah ada di Bkt Tinggi th 1947 dan 1948, yg telah disetarakan dengan Akademi Militer”. sedangkan penyatuan dengan TT-I Bukit Barisan adalah utk merampingkan jml tentara waktu itu.
o   Ultimatum yg dikeluarkan bukanlah bersifat pengambil alihan kekuasaan. Hal ini terbaca pada kalimat yang berbunyi:
1.     Kami tetap mengakui keutuhan Negara Republik Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno tetapi minta Kabinet Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden, serta penangguhan reorganisasi TNI melalui pencopotan Nasution sebagai KSAD.
2.     Apabila dalam 5 X 24 jam tuntutan ini tidak berjawab, maka kami terbebas dari mematuhi segala perintah dari Presiden Soekarno.

Belum ada Komentar untuk "Materi Pemberontakan PRRI atau Permesta "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel